Wednesday 17 February 2016

Sistem Pengelolaan Sektor Kehutanan Perlu Diperbaiki



Ilustrasi Hutan (JG)

Jakarta - Sistem atau mekanisme pengelolaan sumber daya alam (SDA) bidang kehutanan di Tanah Air perlu diperbaiki. Saat ini, banyak proses terkait alokasi kawasan hutan dan lahan yang masih menggunakan mekanisme insecure property rights (legal tidak legitimate/LTL) yang membuat semua informasi terkait SDA kehutanan lebih dikuasai oleh swasta atau perorangan yang mendapatkan perizinan. Penerapan mekanisme itu menyebabkan negara berpotensi kehilangan kekayaannya sebesar Rp 4-5 triliun per tahun dari sektor kehutanan.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo mengatakan, SDA terkait kehutanan bukan hanya mencakup hutan, namun juga dimensi pembangunan di atasnya seperti infrastruktur, energi, dan sebagainya. Ada persoalan sangat mendasar yang justru tidak terselesaikan secara sistematis sehingga menimbulkan banyak potensi konflik dengan masyarakat. Persoalan itu adalah adanya mekanisme LTL dalam pengelolaan SDA kehutanan di Tanah Air yang kemudian menyebabkan bea transaksi tertentu karena penguasaan negara atas SDA kehutanan itu tidak diselesaikan dengan baik. “Semua infomasi lebih dikuasai swasta atau orang yang mendapat izin, siapapun yang mengurus izin harus mendapat alokasi secara mandiri dan dia harus mendapatkan potensinya. Sedangkan pemerintah yang dalam UUD 1945 menguasai hajat hidup orang banyak malah tidak tahu detilnya sehingga menimbulkan transaksi tertentu,” kata dia di Jakarta, Senin (15/2).
Hariadi Kartodihardjo dihubungi Investor Daily terkait orasi ilmiah bertema Diskursus dan Kebijakan Institusi-Politik Kawasan Hutan : Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan Sosial Sumber Daya Alam di Indonesia yang dibacakannya di Kampus IPB, Bogor, Sabtu (13/2).
Pengalaman Hariadi saat bekerja sama dengan Komnas HAM untuk 40 lokasi di Indonesia menyatakan bahwa dengan mekanisme LTL maka banyak aparat TNI atau pemerintah daerah (pemda) yang menganggap seolah-olah sistem yang ada itu legal penuh. Akibatnya, ketika terjadi konflik maka merekapun memilih membela perusahaan ketimbang masyarakat yang miskin dengan alasannya perusahaan bersangkutan mengantongi surat keputusan (SK) menteri atau izin usaha dari pemda tanpa menelusuri apakah SK menteri atau izin usaha tersebut sah dan diakui masyarakat. Hal ini pada akhirnya menciptakan reporduksi atau dikursus dari sesuatu yang belum legal menjadi yang sah. “Karenanya kalau saat ini ada konflik berbagai daerah seperti Rembang, Jawa Timur, atau luar Jawa sekalipun itu adalah implikasi dari substansi hukum tersebut,” kata dia.
Dia juga mengatakan, maraknya konflik justru disikapi dengan sikap kementerian yang justru membuat kebijakan yang tidak esensial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) misalnya, mengeluarkan kebijakan percepatan waktu perizinan dengan alasan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dan perekonomian. “Pengembangan infrastruktur dan pembangunan ekonomi disikapi dengan meminimalkan biaya transaksi, itu benar, tapi kebijakan itu tidak mampu menghilangkan atau mereduksi konflik. “Kebijakan terkini juga belum menyentuh substansi dasar. Mengapa penyelesaian konflik yang lambat justru yang disikapi dengan percepatan perizinan, bukannya seharusnya membenahi substansi dari perizinan,” ujar dia.
Hariadi juga mengungkapkan, sebenarnya Gerakan Nasional Penyelamatan SDA Indonesia (GNP SDA) bisa menembus atau menyelesaikan persoalan di sektor kehutanan tersebut. Namun implementasinya sulit di lapangan. Pemerintah justru melakukan realokasi anggaran untuk menyelesaikan SDA sektor kehutanan. Pemerintah memang berhasil yang tercermin dari penyerapan anggaran, namun hal itu dilakukan tanpa evaluasi sungguh-sungguh apakah konflik kehutanan bisa diselesaikan. “Ada soal hak guna usaha (HGU), izin konsesi, dan batas-batas hutan. Standarnya adalah administrasi berita acara. Teman-teman di pemerintah memang tidak dibekali pengetahuan yang cukup untuk selesaikan konflik di lapangan. Tapi ini bukan salah mereka, yang salah adalah sistem dan ini yang harus diperbaiki dari LTL menjadi legal and legitimate,” kata dia.
Tri Listiyarini/TL
Investor Daily


No comments:

Post a Comment

Entri Populer