Thursday 1 December 2011

Ilmu Wajib Rimbawan


Mengutip dari beberapa sumber:

TANGGAPAN RINGAN ATAS ORASI PURNA TUGAS
Prof. Dr. Ir. H. Hasanu Simon
Yogyakarta, 27 September 2010

Oleh: IB. Putera Parthama – 78/1516KT

Seperti biasa, pidato, materi kuliah, ceramah, karya tulis atau buku, yang disampaikan Prof. Simon, selalu sarat dengan isi dan pemikiran. Juga pidato purna tugas beliau yang berjudul;  “Ilmu Kehutanan, Pendidikan dan Kiprah Rimbawan Indonesia” mengangkat hal-hal mendasar.  Saya hanya akan mengomentari beberapa hal, secara ringan.
Ilmu Wajib Rimbawan
Pernyataan Prof. Simon  tentang ilmu yang wajib menjadi bekal minimal seorang rimbawan, yaitu: Ukur Kayu, Inventore Hutan, Sistem Silvikultur, Eksploitasi Hasil Hutan dan Tata Hutan, yang merupakan ilmu pendukung  Ilmu Penentuan Etat -- atau juga kita kenal sebagai yield regulation atau harvest scheduling) menarik untuk disimak. Beliau tekankan bahwa ilmu-ilmu tersebut adalah ciri-ciri pembeda atau distinguishing characteristics, yang memilahkan sarjana kehutanan dengan sarjana non-kehutanan. Bila seorang sarjana kehutanan tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut maka dia tidak berbeda dengan sarjana non-kehutanan, dan akan mengambil kebijakan atau tindakan yang sama saja dengan yang akan diambil seorang layman atau orang awam kehutanan. Ada beberapa indikasi, sebagian dari kita pegawai Kementerian Kehutanan, sangat mungkin kena tohok pernyataan Prof. Simon.  Berikut beberapa indikasi tersebut.
Ketika metode quick count mulai diterapkan untuk memprediksi secara cepat perolehan suara pada Pemilu 1999, serta merta quick count dipandang sebuah metode nan ajaib.  Bagi kita, yang pernah belajar inventore hutan, tidak peduli nilai kita dulu A atau C, tentu saja tidak terheran-heran dengan quick count. Tetapi percaya atau tidak, seorang pejabat tinggi Departemen Kehutanan pernah dalam satu kesempatan formal mengutarakan agar Departemen Kehutanan mengadopsi metode quick count untuk mengetahui kondisi hutannya di seluruh Indonesia secara cepat. Ini sungguh-sungguh terjadi, saya tidak mengarang.  Bisa dipastikan ketika pejabat tersebut kuliah, dosen inventore hutannya pasti bukan Prof. Hasanu Simon. Karena, meskipun hanya dapat C sekalipun, keterlaluan kalau sampai tidak tahu bahwa inventore hutan yang kita lakukan dengan berbagai metode sampling, mulai random sampling, sistematic sampling, sistematic with random start, stratified sampling, adalah metode-metode quick count yang ajaib itu. 
Hal lain yang mengilustrasikan kurangnya pemahaman kita akan inventore hutan ialah bagaimana kita telah abai terhadap pentingnya kegiatan inventarisasi hutan.  Di Ditjen Planologi memang ada Direktorat yang menangani inventarsasi hutan, tetapi apa yang telah kita lakukan dan data yang kita hasilkan tentang kondisi hutan kita, masih jauh dari yang semestinya atau yang diperlukan. Angka luas hutan saja kita tidak konsisten, apalagi tahu isinya secara akurat.
Bandingkan dengan di Amerika, inventarisasi hutan dilakukan terus menerus. Praktis setiap hari, mungkin hanya terputus saat puncaknya winter, di hutan-hutan Amerika dipastikan sedang ada tim-tim survey yang sedang mengukur isi hutan, mulai dari lumut hingga pohon besar, dan belakangan hingga sampel tanah. Inventarisasi hutan dilakukan sejak awal abad ke-19 dan terus berlanjut sampai sekarang. Setiap periode tertentu diadakan symposium khusus tentang inventarisasi dan data hutan. Di Amerika, inventarisasi hutan menjadi urusan Legislatif. Tahun 1874 House of Representatives (setara DPD) merekomendasikan pembentukan komisi khusus untuk mengkompilasi data/statistik kehutanan. Tahun 1928 Konggress mengeluarkan Act yang memerintahkan USDA Forest Service untuk melakukan inventarisasi periodik (sekarang bahkan inventarisasi annual – setiap tahun) atas seluruh hutan Amerika. Hasil inventarisasi hutan adalah informasi penting milik negara yang dilaporkan ke Konggres. Bandingkan dengan di kita, boro-boro menjadi urusan DPR, petinggi di lingkungan kementerian saja mungkin sebagian tidak ingin tahu atau menganggapnya hal sepele. 
Ilustrasi lain ialah terkait dengan kebijakan softlanding. Konsep softlanding yang sebenarnya ialah penerapan konsep jangka benah, ilmu pengaturan hasil atau yield regulation.  Riap setempat dihitung ulang, yield regulation  ditata ulang.  Hasilnya, adalah harvest re-scheduling yang baru, berdasarkan kondisi terkini hutan yang dikelola, yang menjamin kelestarian dengan basis unit manajemen.  Hasil harvest re-scheduling itu mungkin ada unit manajemen yang selama sekian tahun harus jeda menebang.  Ada yang masih boleh lanjut menebang, tetapi dengan luas atau volume tebangan lebih kecil.  JPT nasional diperoleh sebagai agregat dari JPT tiap unit manajemen.  Tetapi yang kita lakukan bukan itu, meski tetap dengan label softlanding. Kita menurunkan JPT nasional, lalu mengalokasikannya dengan basis propinsi.  Repotnya lagi, untuk menghitung JPT kita menggunakan the so called riap rata-rata nasional.  Di kita memang suara yang paling lantang yang biasanya akan menjadi keputusan.  Kita sadari ada dimensi politik di sini.  Akan tetapi, kekurang-pahaman tentang ilmu yang disebut Prof.Simon, pasti juga jadi penyebab.
Di Amerika, harvest scheduling atau yield regulation adalah keniscayaan dalam pengelolaan hutan.  Rejim-rejim pemungutan hasil hutan yang paling optimal dibuat untuk setiap petak hutan produksi, di-resep-kan atau di-prescribe oleh foresters professional selaku konsultan yang terakreditisasi SAF (Society of American Foresters).  Untuk bisa membuat resep management regime seperti di Amerika, mutlak harus menguasai ilmu-ilmu  yang disebutkan Prof Simon.
Masih ada ilustrasi terbaru ialah ketika muncul istilah multi-system silvikultur.  Apa itu multi-system silvikultur?  Ternyata maksudnya ialah penerapan lebih dari satu sistem silvikultur pada satu hamparan hutan atau satu unit manajemen.  Kalau itu yang dimaksud, ya memang harusnya demikian.  Yang salah selama ini memang penerapan “azas tungal” memberlakukan secara obligatory satu system silvikultur untuk kondisi hutan yang bervariasi.  Tetapi, banyak yang tidak mengartikan demikian. Terbukti dengan adanya ungkapan semacam: multisystem silvikultur sebagai pengganti TPTI, atau pengganti SILIN.  Bahkan ada kajian mengenai itu. Padahal kalau sekedar hendak membolehkan lebih dari satu sistem silvikultur dalam satu hamparan, cukup  dengan mengubah Permenhut yang selama ini mengharuskan setiap unit manajemen menerapkan suatu sistem silvikultur tertentu, yang ditentukan oleh pemerintah. 
Ceritra-ceritra tadi cukup mengilustrasikan betapa kita mengelola hutan tanpa ilmu kehutanan, sebagaimana disampaikan Prof. Simon.  Maka itu tidak mengherankan kalau hasilnya ya, hutan Indonesia yang tidak lestari dan tidak mensejahterakan bangsa. Terdorong hal ini muncul pemikiran berikut. Untuk memastikan bahwa para rimbawan yang bekerja di Kementerian Kehutanan paham akan ilmu wajib tadi, dapat dilakukan hal-hal berikut:
1.    Rekrutmen PNS Kemenhut mensyaratkan pelamar memiliki nilai minimal B untuk  sejumlah ilmu wajib tersebut.
2.    Ilmu wajib tersebut menjadi bagian signifikan dari materi test masuk PNS Kementerian Kehutanan
3.    Ketika sudah diterima sebagai PNS, semua wajib mengikuti dan lulus training atau refreshing ilmu wajib tersebut, dilaksanakan oleh Pusdiklat.  Ini serupa dengan di Kemenlu, dimana pegawai baru selama setahun di-train substansi.  Implikasinya, Pusdiklat harus lebih mementingkan training-training teknis substantive daripada training-training penjenjangan.

Kualitas Pendidikan Kehutanan
Pernyataan menarik lain yang diutarakan Prof. Simon ialah pengakuan bahwa kualitas pendidikan kehutanan di perguruan tinggi masih belum memuaskan. Lulusan fakultas-fakultas kehutanan belum mampu memecahkan masalah.  Kalau ungkapan itu dari seorang Prof. Simon, tokoh yang secara signifikan ikut mewarnai pendidikan kehutanan itu sendiri, tentu harus disikapi sebagai sebuah testimony serius.  Pertama harus dicari tahu sumber penyebabnya. Saranakah? Tetapi sarana pendidikan kehutanan kita rasanya tidaklah terlalu ketinggalan dibanding negara lain. Anggarankah? Memang dalam jangka waktu cukup lama sektor pendidikan sangat kekurangan dana -- tetapi DIKTI sekarang berlimpah dana – dan bandingkan dengan kondisi tahun 40-50an yang diuraikan Prof. Simon.  Kalau bukan sarana-prasarana, yang bisa selanjutnya dipertanyakan  ialah dosen dan metode ajar-mengajar.
Kalau bukan dosen atau metode ajar-mengajar, mungkin satu-satunya yang masih bisa dipersalahkan adalah jaman. Jaman yang telah berubah drastis, menyebabkan perubahan cara pandang dan juga perubahan ukuran dari apa yang disebut dengan “sukses” baik di kalangan pengajar maupun calon sarjana.  Artinya, sebagai sebuah sistem produksi, fakultas-fakultas kehutanan memang menghasilkan produk yang sesuai jamannya.
Apakah dosen-dosen kita kurang berkualitas? Dilihat titel doktor dan professor, tidak ada alasan untuk mengatakan demikian. Tetapi memang kualitas dosen tidak semata diukur dari kepintaran akademisnya. Ada tuntutan atas komitmen dan motivasi untuk mencetak orang-orang biasa menjadi rimbawan-rimbawan handal.
Lalu bagaimana halnya dengan metode pengajaran?  Sebagai orang awam dalam hal metodik-didaktik, tentu saya tidak boleh berkomentar mengenai hal satu ini. Namun berangkat dari sinyalemen Prof. Simon, bisa jadi metode pembentukan sarjana kehutanan selama ini memang cenderung menghasilkan sarjana dengan pengetahuan parsial (vis a vis generalis) sehinga cenderung dikotomis dan “berkacamata kuda”, theorist yang pintar menganalisis tetapi tidak becus mengeksekusi, kurang professional atau mumpuni di bidangnya, dan tidak tahan-banting (lack of perseverance).  Akibatnya tidak banyak dari kita yang bisa jadi problem solver seperti yang dikatakan Prof. Simon. Bahkan sebaliknya mungkin banyak dari kita yang justru terbawa oleh masalah dan bahkan menjadi part of the problem. Kalau kita sepakat dengan penyebab ini, mungkin jawabannya adalah reformasi total kurikulum dan metode ajar-mengajar.  Beberapa tahun yang lalu pernah ada workshop reformasi kurikulum, tetapi entah apa kelanjutannya.
Terkait dosen, satu kelemahan fakultas-fakultas kehutanan kita ialah fenomena inbreeding, yakni merekrut dosen secara internal.  Di Amerika, maaf lagi-lagi contoh di Amerika, seorang lulusan universitas A, pada umumnya tidak diterima menjadi dosen di universitas A, sebelum CV-nya membuktikan dia telah melanglang ke beberapa  universitas atau institusi lain selama sekian tahun, misal 10 tahun. Tentu maksudnya agar seorang dosen yang baru direkrut membawa darah segar, membawa infusi sesuatu yang baru bagi fakultas, termasuk yang diperolehnya dari pengalaman praktis in the real world. Di kita, proporsi dosen yang non-alumni masih kecil. Jangan salah, saya tidak mengatakan rekrutmen internal kualitasnya rendah. Tetapi maksud saya ialah bahwa asupan dari luar sangatlah penting. Meskipun rekrutmen internal bukan sesuatu yang haram, tetapi kalau pendidikan sarjana kehutanan dianalogikan dengan pemuliaan pohon, maka terlalu banyak rekrutmen internal tidak akan memperlebar “basis SDG” sehingga upaya “pemuliaan” akan kurang efektif untuk menghasilkan generasi yang lebih berkualitas dari yang sebelumnya. 
Pernyataan rendahnya kualitas pendidikan sejalan dengan pernyataan Prof. Simon lainnya yaitu bahwa rimbawan Indonesia telah gagal.  Kalau karut-marut kondisi kehutanan Indonesia kita sepakati sebagai indikator kinerja utama, maka  tidak ada di antara kita yang tidak setuju dengan pernyataan Prof. Simon.  Akan tetapi di sisi lain, tentu tidak fair bila kita mengabaikan faktor luar kehutanan, yang berada beyond the control of foresters, yang ikut berperan dalam menciptakan karut-marut kehutanan Indonesia. Pada akhir dekade 60-an, kita tahu ekonomi Indonesia sedang berada pada titik nadir.  Pada kondisi demikian, bagi Indonesia sumberdaya alam yang paling liquid ialah hutan atau kayu.  Maka hutan termasuk yang pertama-tama di-cash-kan oleh Pemerintah Orde Baru.  Persoalannya, untuk meng-cash-kan kayu-kayu di hutan alam di luar Jawa, republik ini tidak punya modal. Kondisi ini lalu menciptakan rendahnya daya tawar republik terhadap pemodal-pemodal asing. Maka terbitlah peraturan perundangan yang sangat bersahabat dengan pemodal. Rimbawan-rimbawan pendahulu kita pasti sangat paham benar bahwa sebelum hutan di luar Jawa dieskploitasi seyogyanya ditata terlebih dahulu.  Akan tetapi, bagaimana penataan bisa dilakukan ketika biaya untuk itu tidak tersedia?  Maka eskploitasi akhirnya mendahului penataan, dan sampai sekarang kita masih bekutat untuk membentuk KPH-KPH. 
Jadi, tanpa maksud menghindar, kegagalan pengelolaan hutan alam di luar Jawa adalah resultante dari berbagai faktor, yang inter-connected satu sama lain dan sebagian benar-benar di luar kontrol rimbawan.  Rimbawan hanya salah satu dari banyak komponen sistem.  Agar dapat mengubah sistem, maka orang-orang berlatar-belakang kehutanan perlu ada di dalam dan mempengaruhi komponen-komponen sistem yang lain. Perlu makin banyak orang kehutanan ada di parlemen, di pemda, di sektor-sektor selain kehutanan, dan di dunia bisnis.  Untuk itu, peran fakultas juga dituntut, bagaimana mencetak sarjana-sarjana kehutanan yang akan mampu berkiprah di luar kehutanan, termasuk mampu berpolitik.  Saat ini sudah ada sejumlah bupati, walikota, dan sebagai wakil rakyat sarjana kehutanan.  Tetapi ke depan perlu lebih banyak lagi dan lebih merambah kemana-mana.  Dan yang lebih penting, meski berada di luar sector, masih berfikir sebagai rimbawan.
  
Fanatisme Almamater dan Jiwa Rimbawan
Prof. Simon juga menyinggung perihal relatif rendahnya “jiwa rimbawan” sarjana kehutanan dibandingkan dengan lulusan SKMA, dahulu. Adanya gap jiwa rimbawan ini, Beliau tengarai sebagai salah satu sebab suburnya persaingan tidak sehat berbasis fanatisme almamater, dari dahulu alumni SKMA vs sarjana kehutanan, kemudian beralih ke alumni UGM vs alumni IPB.
Adalah natural, orang akan berkelompok manakala tantangan yang dihadapi dipandang tidak bisa dihadapi sendirian.  Dan adalah natural bila dalam membentuk kelompok yang pertama-tama diajak ialah orang yang sudah dikenal.  Karena itu, fanatisme almamater adalah satu hal yang tidak akan pernah hilang total, dan terjadi dimana-mana. Kecintaan kepada almamater dan kedekatan dengan sesama alumni adalah sesuatu yang natural dan manusiawi. Jadi, terlepas dari kadar jiwa rimbawan, fanatisme almamater akan selalu ada, dan mungkin tidak perlu terlalu dipersoalkan. 
Yang perlu kita persoalkan, adalah peningkatan kualitas diri.  Dengan demikian, persaingan tidak sehat berbasis almamater akan tereliminasi dengan sendirinya, karena seseorang dipilih dan diajak berkelompok bukan karena semata-mata sealumni, melainkan karena memang berkualitas. Dalam kondisi demikian, tidak akan ada alasan seorang Dirjen dituding almamateris manakala semua direkturnya dari teman se-alumni. 
Malah, bila nanti kualitas sarjana kehutanan  sudah demikian tinggi dan merata, yang perlu dicegah justru reversed almametrism, atau kebalikan dari almamaterisme yang sekarang.  Yakni, karena takut dikatakan almamateris, maka teman sealmamater yang sebenarnya qualified, dikorbankan.
Pendek kata, almamaterisme sudah pasti tidak bagus dan menimbulkan persaingan tidak sehat dan pemanfaatan SDM yang sub-optimal.  Akan tetapi almamaterisme tidak akan bisa dihilangkan dengan pendekatan kultural atau rekayasa, karena hanya akan berupa basa-basi.  Cara lebih efektif mengurangi (bukan menghilangkan) ialah peningkatan kualitas diri dan daya saing.  Dengan kualitas dan daya saing yang tinggi, seseorang tidak lagi mengandalkan jaket almamater untuk memperoleh posisi.
Bagaimana dengan jiwa rimbawan? Bila yang dimaksud dengan jiwa rimbawan adalah sikap mental yang dicirikan dengan cinta yang total kepada profesi (dan tentu juga terhadap hutan), yang termanifestasikan ke dalam komitmen tertinggi dan konsistensi tindakan nyata, maka kemungkinan sinyalemen Prof. Simon ada benarnya.  Mungkin satu contoh yang merfleksikan rendahnya jiwa rimbawan kita ialah, keengganan kita para sarjana kehutanan untuk bekerja di hutan. Kita tidak perlu malu mengakui bahwa kita jauh lebih senang bekerja di Manggala Wanabakti atau di kantor pusat, di belakang meja, daripada mengelola hutan secara langsung. 
Menurut Prof. Simon, berbeda dengan para alumni SKMA yang dahulu langsung ter-ekspose kepada masalah-masalah kehutanan (yang kemudian membentuk jiwa rimbawan), para sarjana kehutanan hanya mendengarnya dari ceritra-ceritra.  Dengan kata lain, para alumni SKMA terdidik dan terbentuk langsung oleh pengalaman nyata sementara para sarjana kehutanan cenderung terkungkung di ranah teori.  Bila benar demikian, maka pendidikan di fakultas harus lebih memperhatikan pembentukan “jiwa rimbawan”. Porsi pembentukan karakter rimbawan perlu  lebih ditingkatkan proporsinya.  Namun perlu hati-hati, jangan sampai pembentukan jiwa rimbawan mengarah kepada tumbuhnya fanatisme buta terhadap sektor (super ego-sektoral), karena sekarang dan ke depan sudah bukan jamannya berfikir sektoral.  Jiwa rimbawan tidak harus mencegah kita menjadi open-minded, selalu siap bersinergi.

Penutup
Tanggapan ini hanya sebuah komentar ringan, sama sekali tidak filosofis ataupun saintifik, tetapi jujur.  Mudah-mudahan bisa diterima. Mohon maaf apabila ada yang kurang pas atau tidak berkenan di hati pembaca.

Jakarta, 16 September 2010
Putera Parthama

No comments:

Post a Comment

Entri Populer